Kamis, 29 Juli 2010

aku mau edop aku yg dulu .
disn aku masih punyo papa :*
kangen nn nah samo papa ! pengen ketemu papa :*
muachmuah

Selasa, 01 Juni 2010

aku semalam mimpi mereka . aku kangen mereka :))

Kamis, 11 Februari 2010

Bagi sebagian Umat Islam, seringkali dihadapi dengan pertanyaan Apa Hukum Merayakan Valentine bagi umat islam ?? ok sekarang kita coba membahasnya.

Boleh jadi tanggal 14 Pebruari setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi. Sebab hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah hari valentine, sebuah hari di mana orang-orang di barat sana menjadikannya sebagai fokus untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.

Dan seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG. Bertukar bingkisan valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasan valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.

Perayaan Valentine’s Day adalah Bagian dari Syiar Agama Nasrani

Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah yang kita dapat menunjukkan bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani.

Bahkan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal ari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.

The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).

Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari valentine itu berasal dari ritual agama Nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno. Sementara di dalam tatanan aqidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno.

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Majelis Ulama Indonesia dalam waktu dekat akan membahas mengenai perlu tidaknya dikeluarkan fatwa haram perayaan valentine. Tindakan MUI ini setelah adanya desakan dari berbagai kalangan agar MUI mengharamkan perayaan hari valentine yang diperingati setiap tanggal 14 Februari tersebut sebagai hari kasih sayang.

“Kalau dilihat perayaannya, tidak mengeluarkan fatwa secara khusus pun itu sudah haram karena banyak yang pesta-pesta, mabuk-mabukan. Jadi menurut saya perayaan tersebut sudah haram, ” ujar Ketua Dewan MUI KH Ma’ruf Amin, di Jakarta, Rabu (13/2).

Ia menilai, perayaan hari valentine yang diadopsi dari kebudayaan barat itu, identik dengan pesta pora dan mabuk-mabukkan, yang dilarang dalam ajaran Islam. apalagi ujung-ujungnya pasti mengarah ke perzinahan.

“Orang pasti tahu kalau perayaan sudah diluar aturan agama, pasti itu haram. Namun untuk menjaganya kita akan lakukan kajian terlebih dahulu, ” tegasnya.

Berikut kita akan membahas sedikit Sejarah Valentine.

Valentine Berasal dari Budaya Syirik.

Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi”.

Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari.

Disebut tuhan cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri. Islam mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya dewa dan dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut sebagai dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.

Walhasil, semangat Valentine ini tidak lain adalah semangat yang bertabur dengan simbol-simbol syirik yang hanya akan membawa pelakunya masuk neraka, naudzu billahi min zalik.

Semangat valentine adalah Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.

Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putera-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.

Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sedekar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.

Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks?

Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan make love ini bertaburan di sana sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.

Bahkan para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka dari berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina dilakukan oleh siapa saja, tidak selalu Allah SWT berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra’: 32).

Rabu, 20 Januari 2010

adab terhadap guru
Berikut ini kami publikasikan artikel tentang Adab kepada Guru yang diolah dari karya Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’roni. Guru yang kami maksudkan dalam artikel ini adalah Guru dalam pengertian Islam. Tuntunan dalam artikel ini diharapkan juga dipraktekan terhadap Guru kita semua yakni Pangersa Abah Anom.

Di antara akhlak mereka adalah adab sopan santun yang mereka lakukan terhadap orang yang pernah mengajar mereka surah Al Qur’an atau ayat. Mereka tetap menghormati orang yang pernah mengajari surah Al Qur’an atau ayat atau pengetahuan tertentu, sampai mereka tidak mau lewat di depannya dengan menaiki kendaraan, meskipun mereka sudah menjadi tokoh besar Islam atau tokoh sufi.

Di antara adab yang mereka pelihara kepada guru adalah kebisaaan mereka memberi hadiah dan pakaian kepada mereka dan keluarga sebagai penghormatan kepada mereka. Begitu pula mereka tidak kikir kepada guru agama yang mengajari anak-anak mereka Al Qur’an tanpa mengharapkan balasan atas pemberian yang mereka lakukan.

Dikisahkan tentang Ibnu Abi Zaid al Qalrawani, penulis besar ar-Risalah, bahwasanya ia memberi guru agama anaknya ketika ia mengajar satu hizib Al Qur’an sebesar seratus dinar. Lalu guru agama itu berkata: “Aku, wahai sayyidi, tidak melakukan sesuatu yang patut diberi ini semua!” Lalu Syaikh guru agama itu mengalihkan anak didiknya itu kepada guru agama yang lain dan berkata: “Ini seorang laki-laki yang merendahkan Al-Qur’an.” (saya mengatakan) Aku pernah melakukan demikian, alhamdulillah, dengan guru agamaku, Syaikh Hambali al-Halabi memberinya pakaian dan juga anak-anaknya hingga ia meninggal dunia. Saya tidak memandang bahwa saya telah melakukan suatu kewajiban atas haknya.
Suatu hari saya lewat bersama Syaikh Syamsuddin ad Dimyathi pada tahun 918 H. Lalu Syaikh Syamsuddin bertemu dengan seorang laki-laki buta dituntun putrinya. Ia kemudian turun dari kudanya dan meraih tangannya seraya menuntun jalan hingga jauh.

Ketika kembali saya bertanya siapa orang itu? ia menjawab bahwa ia adalah laki-laki yang pernah mengajarinya Al Qur’an pada masa anak-anak. Maka ia tidak berkenan lewat dengan menunggang kuda. Padahal Syaikh Syamsuddin telah memperoleh pangkat, kepercayaan, ilmu dan dekat dengan para raja dan ia sangat istimewa. Belum pernah kami melihat seseorang yang memperoleh karunia seperti dia di antara teman-teman sejawatnya sehingga saya pernah melihatnya sedang berada di antara dua istana pada suatu hari dikerumuni orang banyak berebut untuk mencium tangannya, dia yang tidak dapat mendekat mencoba melemparkan selendangnya hingga mengenai pakaiannya lalu mencium selendang itu seperti yang dilakukan orang terhadap kiswahh kabah ketika dibawa di Kairo.

Mengalah dan Rendah Hati
Diantara akhlak mereka Adalah sikap sangat mengalah hingga diantara mereka ada yang mencari barakah dari muridnya dan membawakan bawaan serta tidak memandangnya lebih mengetahui dari pada muridnya atau merasa lebih banyak amalnya, bilamana yang demikian itu tidak menimbulkan fitnah.

Dikisahkan bahwa Imam Syafi’i (ra) ketika mengutus utusannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ia akan mengalami cobaan besar dan akan bebas dari cobaan itu dalam keadaan selamat, yakni masalah apakah al-Qur’an makhluk atau bukan. Lalu ketika utusan itu memberitahukan kepadanya, Imam Ahmad bin Hanbal melepas gamisnya karena bahagia dengan kehadiran utusan Imam Syafi’i. Ketika utusan itu kembali dengan membawa gamis itu dan memberitahukan kepada Imam Syafi’i, ia bertanya: “Apakah gamis ini dilepas dari tubuhnya tanpa pakaian dalam?” Ia menjawab: “Ya benar” Lalu Imam Syafi’i mencium gamis itu dan dia tutupkan pada kedua matanya. Lalu ia basahi dengan air kedalam tabung dan menggilasnya lalu memerasnya. Aimya kemudian dimasukkan ke dalam botol untuk mengobati para sahabatnya yang sakit dengan cara mengoleskan air itu pada tubuhnya dan berkat pertolongan Allah mereka segera sembuh.

Patut direnungkan bagaimana kerendahan hati Imam Syafi’i terhadap muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal. Yang demikian menunjukkan bahwa orang seperti ini meskipun amal shalihnya yang begitu banyak tidak membuat mereka memandang diri mereka sendiri lebih dari orang lain. Berbeda dengan orang orang yang mengaku diri syaikh di zaman sekarang. Orang terakhir yang saya ketahui mengalah dan mencari berkah dari muridnya serta mengirim orang sakit agar berobat padanya adalah Syaikh Muhammad bin Annan dan Syaikh Muhammad as Sarawi.

Syaikh Muhammad bin Annan suka mengirim orang yang menginginkan doa untuk orang yang sakit kepada Syaikh Yusuf al Haritsi. Syaikh Muhammad as Sarawi mengirim utusan kepada Syaikh Ali al Haddad padahal Syaikh Yusuf dan Syaikh Ali adalah murid kedua Syaikh ini.

Lembut dan Santun
Dalam hadits terdapat perintah untuk meluruskan shaf jamaah shalat dan bersikap lembut terhadap sesama.

Dalam al Qur’an juga terdapat peringatan, Firman Allah SWT:
“Jika kiranya kamu bersikap kasar dan keras hati tentu mereka lari dari sekelilingmu.” (Ali Imran : 59).

Ketahuilah bahwa termasuk bagian dari sikap lembut terhadap orang orang fakir (para ahli sufi) adalah apabila masuk dalam kelompok yang sedang berdzikir pada Allah (SWT) seperti dzikir kaum Maghribah, Syanawiyah, Rifa’iyah umpamanya, maka hendaknya ikut berdzikir bersama mereka dengan cara seperti yang mereka lakukan sesuai aturan syara’.
Maka sebaiknya juga menyesuaikan dengan dzikir yang mereka ajarkan, yang dibolehkan dan yang jarang oleh mereka, tanpa menolak dengan alasan bahwa yang demikian bukan thariqat Syaikh Anda. Dengan demikian akan kehilangan pahala di samping terjebak dalam sikap kaku dan keras.

Membiarkan Lapar
Di antara akhlak mereka adalah lapar dengan jalan yang sesuai dengan syara’. Bilamana mereka tidak mendapatkan sesuatu yang halal untuk mereka makan, maka berhari-hari mereka menahan lapar. Pengalaman lapar ini telah mereka rasakan lalu menemukan cahaya batin dan kebaikan pada kekosongan perut hingga mereka mengatakan dalam pepatah: “Pada beduk terdapat suara keras hanya karena kosong dalamnya.”
Mereka juga mengatakan bahwa seharusnya bagi orang alim tidak kenyang apalagi di hari-hari ia menulis kitab. Yang demikian itu agar ia tidak terhalang dari kesempumaan pemahaman Al-Quran, hadits, fiqih dan lain sebagainya. Sebab pemahaman orang kenyang itu lemah. Jika ada yang ragu mengenai ini, silahkan mencoba.

Kami pernah menemukan banyak orang fakir (ahli sufi) membisaakan lapar hingga di antara mereka ada yang berbuang hajat besar hanya sekali dalam satu minggu, karena malu terhadap Allah (SWT) jika banyak pergi ke kamar kecil dalam keadaan terbuka auratnya.

Bahkan yang lebih dari itu, Syaikh Tajuddin ad-Dzakir mengambil air wudhu hanya pada setiap dua belas hari sekali. Sayidi Ali asy-Syahawi, yang dikenal dengan Dzuaib mengajak semua orang yang ia temui untuk berpuasa dan mengatakan bahwa puasa adalah senjata orang mukmin, dan jika orang yang ahli berpuasa tidak mentaati Allah, ia tidak melakukan maksiat terhadapNya karena tidak ada dorongan yang mengajak kepada kemaksiatan. Di antara orang yang berpuasa sepanjang tahun adalah Syaikh Umar at-Tabtiti dan anak pamannya Syaikh Abdul Qadir. Keduanya sangat tinggi nuraninya dan kemauannya. Ikutilah jejak orang-orang terdahulu dan hendaknya tidak makan kecuali jika sangat lapar.

Tetap Ikhlas memberi Ilmu
Di antara akhlak mereka adalah bahwa jika ada orang yang tidak sepenuh hati belajar ilmu dari mereka, mereka tetap mengajamya akan tetapi senantiasa menghadap kepada Allah (SWT) dalam doa agar niatnya ikhlas. Dengan demikian mereka mendapat pahala dan ia begitu pula.

Sebab ilmu untuk dua hal: diamalkan dan menghidupkan syariah. Maka pemiliknya diberi pahala baik secara penuh maupun tidak penuh.
Syaikh Ali al-Khawwash berkata: “Pembawa ilmu itu mengamalkan ilmunya meskipun melakukan maksiat, karena jika itu terjadi ia bertobat dan menyesali sesuai ilmu yang ia ketahui. Seandainya bukan karena ilmunya itu tentu ia tidak tahu jalan bertobat dan menyesali.

Inilah pengamalan ilmu dari sisi ini. Jika orang yang melakukan maksiat tidak mengamalkan ilmunya, sebagaimana anggapan orang, maka ketahuilah bahwa ilmu itu bermanfaat bagi pemiliknya bagaimana pun, dan ilmu setiap orang tetap lebih banyak dari pada amalnya di setiap masa.”

Tekad mengamalkan Ilmu
Di antara akhlak mereka adalah tekad mengamalkan ilmu semua orang alim yang mereka ketahui, tidak memperhatikan apakah orang alim itu mengamalkan ilmunya atau tidak.
Kemudian menjadikan pahala amal itu dalam catatan amal orang alim ini dan mereka memohon pahala dari Allah (SWT) sebagai karunia dan kemurahan.
Begitu pula bilamana membaca suatu ilmu mereka menjadikan pahalanya untuk pengarangnya, karena pahala setiap perkataan adalah untuk penuturnya.
Yang demikian tidak mungkin tercapai kecuali orang yang lebih mengutamakan orang-orang mukmin dari pada dirinya sendiri, sebagai peninggalan Rasulullah (SAW), sebagaimana yang kami bahas dalam kitab al-Minan at-Kubra.

Tetap Bergaul dengan Orang yang Memusuhinya
Di antara akhlak mereka adalah bergaul dengan orang yang secara diam-diam memusuhi tetapi menampakkan diri menyukai mereka. Mereka juga tidak menolak sama sekali terhadap orang yang ingin dekat kepada mereka.

Sebab jika ditolak yang demikian akan dapat menimbulkan fitnah dan menambah permusuhan. Akan tetapi ini membutuhkan kewaspadaan terhadap pelanggaran sebab bisa jadi orang yang tidak senang akan secara sengaja sedang mencari keburukan agar dapat dijadikan bahan untuk menjatuhkan mereka, sebagaimana yang banyak terjadi.

Oleh sebab itu bergaul dengan orang yang tidak dalam hatinya tidak menyukai harus bersikap waspada, sebab jauh dari musuh lebih baik bagi orang yang tidak memiliki kesempurnaan perilaku dan lemah agama. Sadarilah yang demikian.

Melihat Atas Kebaikan dan Menutupi Keburukan Orang lain
Di antara akhlak mereka adalah membuka mata lebar lebar atas kebaikan orang dan menutup mata rapat rapat atas kekurangan yang ada padanya. Maka Di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau melihat aib saudara seagamanya sedikit pun dan semua orang baginya salih dan orang salih tidak ada yang memusuhi kecuali hanya karena iri dan dengki.

Jika dikatakan bahwa yang mempunyai kedudukan ini atau itu sedikit manfaatnya bagi teman-temannya karena tidak memberi nasihat dan peringatan dan kemungkaran lalu dengan demikian menjadi pelaku maksiat terus menerus dan tidak tertuntun untuk memberi peringatan, karena semua orang dianggap baik, maka jawabnya adalah bahwa ia memberi peringatan karena semua orang dianggap baik, maka jawabnya adalah bahwa ia memberi peringatan dengan ilham yang benar melalui berkaca diri atau dengan mengaitkan itu dengan dirinya sendiri dan berkata: “Sebagaimana aku juga melakukan pelanggaran umpamanya orang lain juga dapat berbuat salah. Semua kesalahan yang bisa terjadi pada diriku dapat terjadi pula pada orang lain.”

Sementara dimaklumi di kalangan mereka bahwa menyebutkan kekurangan saudara mereka tidak lain adalah peringatan, bukan menganggap mereka bebas dari kesalahan seperti ini. Sebab orang yang sempurna di kalangan mereka dijuluki Abul Uyun, “maka segala sesuatu ada mata yang melihatnya, lalu ia memandang saudaranya lepas dari kekurangan seperi riya’ dan kemunafikan atau lain lainnya dengan satu mata. ia menyikapi dengan hati hati seperti kehati hatian orang yang benar menuduhnya dengan kekurangan-kekurangan itu atau perkiraan dengan mata yang lain.

Adab dan Akhlak dalam Menuntut Ilmu

Oleh Ade Nurdiansyah, S.Pd

Di dalam Al Qur’an diterangkan bahwa sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Ilmu merupakan sarana utama menuju kebahagiaan abadi. Ilmu merupakan pondasi utama sebelum berkata-kata dan berbuat. Dengan ilmu, manusia dapat memiliki peradaban dan kebudayaan. Dengan ilmu, manusia dapat memperoleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula, manusia menggapai kehidupan akhirat.

Baik atau buruknya suatu ilmu, bukan karena ilmunya, melainkan karena niat dan tujuan si pemiliki ilmu. Ibarat pisau, tergantung siapa yang memilikinya. Jika pisau dimiliki oleh orang jahat, maka pisau itu bisa digunakan untuk membunuh, merampok atau mencuri. Tetapi jika dimiliki oleh orang baik, maka pisau itu bisa digunakan untuk memotong hewan qurban, mengiris bawang atau membelah ikan.

Di bawah ini merupakan metode yang baik dalam mencari/menuntut ilmu, agar ilmu yang kita miliki bermanfaat dan mendapat barokah dari Allah

  1. Awali dengan niat yang benar, baik dan ikhlas. Niatkan bahwa mencari/menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Niatkan bahwa ilmu yang dimiliki akan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk mengejar dunia semata. Niatkan bahwa dengan ilmu tersebut, kita berjuang di jalan Allah. Memohonlah kepada Allah agar ilmu yang kita miliki bermanfaat dunia-akhirat. Memohonlah kepada Allah agar kita terhindar dari ilmu/ajaran sesat dan menyesatkan.
  2. Selalu minta restu dan ridho orangtua. Mintalah dengan kerendahan hati dan santun kepada orangtua untuk mendoakan agar kita selamat dunia-akhirat.
  3. Berhati-hati dalam memilih ilmu. Pelajarilah ilmu agama sebagai landasan hidup. Pelajarilah ilmu tentang aqidah, karena aqidah yang benar merupakan pondasi keimanan. Pelajarilah ilmu tentang akhlak, karena akhlak merupakan cermin dari suasana hati. Ingatlah... bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW diutus ke dunia untuk memperbaiki akhlak manusia. Pelajarilah ilmu fiqh agar tata cara ibadah kita sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Pelajarilah ilmu-ilmu duniawi sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah dan berbuat kebaikan.
  4. Belajar kepada guru yang terpercaya akan keilmuannya dan agamanya. Cara ini lebih cepat dan lebih meyakinkan daripada belajar tanpa guru. Dengan belajar kepada guru akan memungkinkan diskusi, tanya-jawab dan timbal-balik antara murid dan guru.
  5. Belajar kepada alam. Gunakanlah akal untuk memikirkan alam semesta ini dan kejadian-kejadiannya, dalam rangka meneguhkan/menguatkan keyakinan kita terhadap kekuasaan dan keagunggan Allah.
  6. Belajar dari pengalaman dan ujian hidup. Jika hidup dan kehidupan ini kita jalani dengan kesholehan hati, maka setiap pengalaman dan ujian/cobaan dapat kita jadikan pelajaran. Sabar dan rasa syukur kepada Allah merupakan dua aspek penting dalam mengambil atau memetik pelajaran dari pengalaman dan ujian hidup.

Jangan menjadi manusia yang berilmu (pintar) tetapi zolim. Dan jangan pula menjadi manusia yang taat beribadah (sholeh) tapi bodoh. Ilmu tanpa didasari dengan keimanan, maka dengan ilmu tersebut manusia akan berbuat kerusakan dan kezoliman. Iman tanpa didasari dengan ilmu, maka keimanannya bersifat semu, hanya sebuah khayalan dan sugesti belaka, begitupun ibadahnya hanya bersifat ikut-ikutan. Oleh karena itu, raihlah kesuksesan dengan 2 sayap, iman dan ilmu. Insya Allah... kesuksesan yang kita raih bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Menuntut ilmu tidaklah mudah, tetapi juga tidak sulit. Dalam menuntut ilmu dibutuhkan keyakinan, kesabaran, kesungguhan, dan pengorbanan. Kita harus meyakini bahwa kita pasti bisa memahami suatu ilmu/pelajaran. Kita harus bersabar, karena untuk memahami suatu ilmu sampai tuntas memerlukan waktu yang lama. Kita harus sungguh-sungguh, karena hanya dengan kesungguhan suatu ilmu dapat kita miliki. Kita harus mempunyai jiwa berkorban, karena untuk meraih ilmu perlu tenaga dan biaya.

Beberapa hal yang dapat memperoleh kemudahan dalam menuntut ilmu:

  1. taat beribadah, rajin bangun malam untuk sholat tahajud dan tafakur.
  2. tidak berbuat maksiat
  3. memuliakan/menghormati guru (adab murid kepada guru)
  4. memuliakan/menghormati sahabat (adab murid kepada sesama murid)
  5. memuliakan/menghormati kitab/buku (adab murid kepada pelajaran)
  6. sering bergaul/berdiskusi dengan ulama (memuliakan ulama)
  7. membiarkan diri lapar ketika sedang belajar (rajin berpuasa)

Adab murid kepada guru

  • menghormati dan memuliakan guru dan keluarganya dengan tulus dan ikhlas
  • tunduk dan patuh terhadap semua perintah dan nasihat guru
  • jujur dan setia bersama guru
  • bersikap rendah hati, lembut dan santun kepada guru
  • hendaknya memaafkan guru ketika beliau melakukan suatu kesalahan
  • tidak menjelek-jelekan dan tidak memfitnah guru
  • tidak menghianati dan tidak menyakiti hati guru
  • berusaha melayani guru dengan sebaik-baiknya
  • selalu berusaha menyenangkan hati guru
  • memanggil guru dengan panggilan yang disukainya
  • berusaha menyukai apa yang disukai oleh guru
  • membiasakan diri memberikan hadiah kepada guru dan keluarganya sebagai tanda penghormatan kepada mereka
  • tidak berjalan di depan guru ketika berjalan bersamanya
  • tidak terbahak-bahak di depan guru
  • tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan guru
  • selalu duduk dalam sikap sopan
  • berusaha keras ( jihad ) dan tekad membuat kemajuan bersama guru

Keberhasilan dan kemudahan dalam proses menuntut ilmu terletak pada kelakuan baik (adab) si penuntut ilmu, terutama adab kepada guru. Sayyidina Ali rodhiallu’anhu berkata, "aku ibarat budak dari orang yang mengajarkanku walaupun hanya satu huruf ". Perkataan Ali ini merupakan ungkapan bahwa begitu besar penghormatan beliau kepada guru.

Khalifah Harun Ar Rasyid pernah mengirimkan putranya untuk belajar kepada syekh burhanuddin. Suatu saat, ketika khalifah berkunjung untuk menemui putranya yang sedang belajar, khalifah melihat putranya itu sedang menuangkan air wudhu untuk syekh. Lalu khalifah berkata kepada putranya, "Wahai anakku, kenapa engkau menggunakan tangan kananmu untuk menuangkan air sementara tangan kirimu kau biarkan diam. Gunakanlah kedua tanganmu, yang satu untuk menuangkan air dan yang satu lagi untuk membasuh kaki gurumu." Subhanallah... begitu tegas khalifah mendidik anaknya agar hormat kepada guru.

Adab murid kepada sesama murid

  • menghormati dan memuliakan sesama murid dengan tulus dan ikhlas
  • hendaknya memberikan nasehat kepada sesama murid dengan kerendahan hati dan bebas dari kesombongan ( amar ma’ruf nahi munkar )
  • selalu berbaik sangka kepada sesama murid dan tidak mencari-cari keburukan mereka
  • tidak menyakiti hati sesama murid
  • hendaknya menerima permintaan maaf sesama murid apabila mereka memintanya
  • selalu membantu sesama murid dalam suka maupun duka
  • bersikap rendah hati dan santun kepada sesama murid
  • tidak meminta menjadi pemimpin mereka, hanya menjadi sesama saudara dengan mereka
  • lapang dada dalam perbedaan pendapat yang mungkin terjadi di antara sesama murid

Adab murid kepada pelajaran

  • niat yang ikhlas karena Allah ketika memulai belajar
  • diniatkan bahwa belajar ( menuntut ilmu ) itu untuk menghilangkan kebodohan diri dan orang lain di lingkungannya
  • menghormati dan memuliakan buku pelajaran ( kitab ) dengan tulus dan ikhlas
  • menjaga kebersihan dan kerapihan buku pelajaran ( kitab )
  • meletakkan buku pelajaran ( kitab ) di tempat yang baik dan terhormat
  • tekun dan kontinyu dalam memahami pelajaran ( ilmu )
  • membiasakan diri menghafal pelajaran dan menjaga hafalan
  • selalu menulis atau mencatat pelajaran ( ilmu ) yang diperoleh
  • meneliti sumber dan isi pelajaran ( ilmu ) yang ada dalam buku atau kitab
  • bersikap adil terhadap isi pelajaran ( ilmu ) yang ada dalam buku atau kitab
  • menjauhkan sifat malu yang berlebihan dalam proses memahami suatu pelajaran atau ilmu

Semoga ilmu yang kita miliki dapat bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bermanfaat untuk orang lain. Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha untuk selalu berbuat baik, memperhatikan adab dan berakhlak mulia. Insya Allah.... ilmu yang kita miliki dapat menyelamatkan kita di kemudian hari. Jika penuntut ilmu tidak memperhatikan bahkan meninggalkan adab dan akhlak, maka amal dan ilmunya tidak akan mendapatkan barokah dari Allah.

Allahu akbar ...!!!

Kamis, 14 Januari 2010

liburan sekolah semester ganjil

saya menghabiskan liburan hanya di rumah saja.Hari jum'at setelah bangun tidur saya langsung mandi,setelah itu saya membantu ibu saya membersihkan rumah,kemudian saya sarapan,sudah sarapan saya OL beberapa jam,lalu saya makan siang,kemudian saya tidur siang.
itu la yang kulakukan selama liburan sekolah setiap hari dirumah . . .